KHUTBAH JUM'AT MEMPESONA 4
TEGAK DI ATAS AGAMA DAN TETAP TOLERANSI
KHOTIB : MUHAMMAD FARHAN HUSEIN
اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ
الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ
الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا.
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ
بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا،
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ
يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ
رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ
فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Jamaah shalat jum’at rahimakumullâh,
Kehadiran Islam sejak awal menunjukkan sikap-sikap yang
merangkul. Rasulullah mengawali dakwahnya di Makkah secara pelan-pelan: mulai
dari keluarga, kawan-kawan terdekat, orang-orang tertindas seperti budak, dan
seterusnya. Yang penting dicatat, tahapan demi tahapan dilalui tanpa paksaan,
apalagi kekerasan. Bahkan, beliau sendiri yang justru kerap mendapatkan
perlakuan kasar hingga percobaan pembunuhan dari para penentangnya, terkecuali
dua pamannya, Abu Jahal dan Abu Lahab. Kita tahu, sejak belia Nabi mendapat
julukan “al-amin” karena karakternya yang jujur. Rasulullah juga dikenal
sebagai pribadi yang ramah kepada siapa pun, gemar menolong, dan pembela yang
lemah. Kepribadian inilah yang menjadi modal dasar beliau mengatasi beragam
tantangan tersebut hingga sukses mensyiarkan Islam di Tanah Arab yang kemudian
terus meluas ke seluruh penjuru dunia.
Sikap ini sejalan dengan pesan Surat Al-Baqarah Ayat 256:
لَا إِكْرَاهَ
فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ
لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Tidak
ada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Jalan kebenaran dan kesesatan telah
jelas. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada thaghut (berhala-berhala yang mematikan akal) dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dalam tafsir Jalâlain dijelaskan, ayat ini
turun ketika ada anggota Ansor, yakni golongan pendukung/penolong Nabi saat
hijrah di Madinah, yang berusaha memaksa anaknya untuk masuk Islam. Wahyu
kemudian turun untuk memperingatkan bahwa Islam seyogianya diterima dengan suka
rela dan penuh kesadaran, bukan dengan tekanan-tekanan. Ayat ini menyiratkan
pelajaran bahwa Islam sangat menghargai proses penyadaran. Di samping karena
Islam sangat rasional alias bisa dibuktikan kebenarannya, manusia juga dibekali
akal sehat.
Itulah sebabnya saat Islam berjaya di tanah Arab pasca-hijrah
Nabi ke Madinah, Rasulullah tak serta-merta memaksa masyarakat secara
keseluruhan meyakini kebenaran Islam. Dalam catatan sejarah, Islam
menarik jizyah (semacam pajak), misalnya, kepada
kelompok Yahudi dan Nasrani. Jizyah adalah penanda bahwa para
pembayarnya mendapat jaminan keamanan dan perlindungan di bawah kekuatan Islam
saat itu. Islam menghargai dan memberikan hak-hak kebebasan kepada golongan
lain selama taat pada kesepakatan untuk mewujudkan kedamaian bersama.
Sikap Nabi yang terbuka ini lantas dilanjutkan para khalifah
selanjutnya yang berjasa menyebarluaskan Islam berbagai belahan dunia.
Negara-negara yang memiliki jejak dakwah Islam dari Khulafaur Rasyidin itu
hingga kini terbukti tetap majemuk, karena dakwah dilancarkan tidak dengan
memaksa penduduk untuk menganut Islam. Islam lebih banyak disebar dengan akhlak
dan ilmu pengetahuan.
Jamaah shalat jum’at yang semoga dirahmati Allah,
Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ
الْحَنِيْــفِيَّةُ السَّـمْحَةُ
“Agama yang paling dicintai allah adalah agama yang hanîf (lurus) dan toleran.” [HR Bukhari]
Apa itu agama
yang hanîf?
Fitrah dari setiap
manusia yang juga menjadi dasar keagamaan adalah pandangan hidup yang hanîf atau
lurus. Hanîf merupakan ciri semua ajaran yang dibawa para
rasul sebelum Nabi Muhammad. Seperti dikatakan dalam Al-Qur’an:
ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا
كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
"Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS An-Nahl: 123)
Dalam QS. 'Ali `Imran: 67, Nabi Ibrahim dikatakan bukan
bagian dari Yahudi ataupaun Nasrani, melainkan seorang yang hanîf lagi
berserah diri kepada Allah. Golongan Yahudi dan Nasrani pada zaman Rasulullah,
Yahudi dan Nasrani dikenal sebagai kelompok yang sektarian, merasa paling benar
sendiri—kendatipun klaim ini juga bisa dilakukan oleh kaum muslim zaman
sekarang. Nabi Ibrahim sebagai hanîf karena belaiau mengusung
ajaran tauhid, yakni mengakui tuhan hanya Allah semata, dan keharusan berserah
diri total kepada-Nya. Hal ini yang membedakan ajaran tersebut dari pandangan
hidup kaum musyrikin penyembah berhala, fanatik terhadap suku, dan tak
memandang manusia sebagai makhluk yang setara.
Selain hanîf, ciri lain dari agama yang dicintai
Allah adalah samîh atau yang murah hati dan toleran. Artinya,
Islam bukan agama bengis, yang tega menjatuhkan kelompok-kelompok di luar
dirinya demi “tegaknya” Islam. Namun, ia membuka pergaulan dan komunikasi
dengan pihak-pihak berbeda pandangan. Kalaupun harus berdakwah, maka ajakan itu
dilakukan dengan metode-metode yang ramah dan cerdas—sebagaimana yang
ditunjukkan sejarah peradaban Islam periode awal.
Hadits tentang karakter agama yang al-hanafiyah
assamhah tersebut kian menopang argumentasi Islam sebagai rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil alamin). Islam tegak di atas pondasi imam akan
Keesaan Tuhan (tauhid) yang kokoh, namun tetap lembut dalam pergaulan yang
luas, menembus batas-batas suku, ras, warna kulit, status sosial, bangsa, dan
lain-lain. Wallahu a‘lam bish shawâb.
باَرَكَ اللهُ
لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ
والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ
رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Komentar
Posting Komentar