Cara Islam Cipta'in Jakarta yang Aman dan Nyaman

Cara Islam Ciptakan Jakarta yang Aman dan Nyaman

Oleh: Bang Aan
Pengajar di Madrasah aja
Mobile : 0896-67544144

Sebuah survei mengejutkan dari Economist Intelligence Unitmenyebutkan Jakarta sebagai kota paling tidak aman di dunia. Survei ini memasukkan 40 indikator kuantitatif dan kualitatif, yang terbagi dalam empat kategori tematik yakni keamanan digital, jaminan kesehatan, infrastruktur, dan personal. Dalam survei itu, ibu kota Jepang, Tokyo, menduduki peringkat tertinggi dalam hal keamanan secara keseluruhan. Tokyo pun bagus dalam hal keamanan digital, tiga poin di atas Singapura yang menduduki posisi kedua. Sementara Jakarta menduduki posisi terendah dari 50 kota yang disurvei dalam hal keamanan secara keseluruhan. (cnnindonesia.com, 29/1/2015).
Seolah mengkonfirmasi survei diatas, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Heru Pranoto, menyebutkan tingkat kerawanan Jakarta semakin meningkat tiap tahunnya. "Memang dari tanggal 31 Desember 2014 sampai 27 Januari 2015, kejahatan menggunakan senjata api dan tajam itu agak meningkat. Ada hampir 10 kejadian, kami telah ungkap 7 kejadian. Sisanya kita upayakan untuk ungkap," kata Heru. (metro.news.viva.co.id, 28/1/2015).
Kepala Biro Operasional Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Daniel Pasaribu mengatakan, dari data yang tercatat untuk di wilayah hukum Polda Metro Jaya terdapat 54 titik rawan kejahatan. Sebanyak 38 titik berada di wilayah pemerintahan DKI Jakarta, dan sisanya di wilayah Bekasi, Depok, dan Tangerang. "Khusus Polda Metro Jaya terdapat 13 titik, Polres Jakarta Pusat 10 titik, Polres Jakarta Utara 3 titik, Polres Jakarta Timur 3 titik, Polres Jakarta Barat 6 titik, dan Polres Jakarta Selatan 3 titik." (nasional.news.viva.co.id, 30/1/2015).
Kejahatan seolah terjadi pemerataan di negeri ini, kejahatan begal motor misalnya, sudah terjadi di Jabodetabek, Lampung, Palembang Sumsel, Sumut, beberapa daerah Jawa Timur, juga di Makasar Sulsel. Di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) kejahatan begal motor sudah sangat meresahkan masyarakat. Polda Metro Jaya mencatat ada 80 kasus begal yang terjadi sepanjang Januari 2015 di berbagai wilayah di Jabodetabek. (kompas.com, 26/2/2015).
Kasus kejahatan yang meresahkan masyarakat tidak hanya terjadi di kota besar, bahkan terjadi pula di daerah. Purwakarta, misalnya, telah terjadi kasus pembunuhan sadis terhadap ibu dan putrinya, pada Minggu 15 Februari 2015, yang dilatarbelakangi dendam pribadi terhadap suami korban. (news.okezone.com, 17/2/2015).
Berdasarkan itu semua, negeri ini mungkin layak disebut sebagai negeri dengan banyak kota yang tidak aman,dan kejahatan merajalela dimana-mana.

Akar Masalah
Penyebab sebuah kota atau negeri itu dikatakan tidak aman, salah satunya adalah meningkatnya kriminalitas yang tidak bisa ditangani secara efektif. Setiap hari kita bisa saksikan berbagai pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik mengupas liputan mengenai berbagai kriminalitas. Beragam motif kejahatan kerap muncul dan menghiasi berita media. Fakta ini menunjukan sistem hukum sekular di negeri ini sudah gagal dalam menjamin rasa aman dari kejahatan.
Kegagalan tersebut, jika dianalisis secara mendalam dan seksama, disebabkan oleh kelemahan dan kekurangan hukum di Indonesia itu sendiri. Paling tidak ada empat faktor signifikan yang melatarbelakangi kelemahan tersebut, yakni: masalah produk hukum, penegak hukum, dan sanksi hukum, serta peradilan yang rusak.

Pertama, produk hukum bermasalah
Produk hukum yang diterapkan di Indonesia, secara filosofis bermasalah, karena produk hukum tersebut sangat dipengaruhi dan dilandasi sistem hukum Barat yang sekular.Sistem ini muncul bersamaan dengan kemunculan sistem demokrasi pada abad kegelapan pertengahan (the dark middle age) yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk membuat hukum tanpa terikat ajaran agama (Kristen).
Sumber pokok hukum perdata di Indonesia (burgerlijk wetboek) berasal dari hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838), karena Belanda pernah diduduki Perancis, maka hukum tersebut berlaku juga di Belanda. Di tanah air hukum tersebut baru mulai sejak 1 Mei 1848 M, bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau wetboek van strafrecht, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 setelah sebelumnya diberlakukan tahun 1873, juga merupakan plagiat dari KUHP untuk golongan Eropa (1867). Dan KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan plagiat dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Prancis zaman Napoleon (1811). Begitu juga dengan hukum acara perdata dan pidana yang juga berasal dari Barat. (Luthfi Afandi, Jurnal al-Wa’ie, ed. 71, 2006: 10-11).
Karena itu, sistem hukum di Indonesia merupakan produk Barat sekular yang mengesampingkan al-Khaliq sebagai Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan ini. Sehingga, produk hukum yang dikeluarkan pasti bermasalah, tidak akan sempurna dan memiliki kelemahan.

Kedua, aparat hukum bermasalah
            Faktor lain yang menyebabkan hilangnya rasa aman di tengah masyarakat, adalah faktor aparat hukumnya itu sendiri.Sudah rahasia umum, bahkan banyak media telah menginformasikan bagaimana bobroknya mental aparat di negara ini, mulai dari polisi, panitera, jaksa, bahkan hingga hakim.
            Sudah tidak terhitung banyaknya kasus yang menimpa aparat penegak hukum. Kepolisian misalnya, hingga hari ini masih tersandung skandal rekening gendut, konflik dengan KPK, termasuk korupsi dan suap-menyuap. Para jaksa dan hakim di indonesia pun banyak yang terksangkut kasus, mulai dari mafia peradilan, suap menyuap, gratifikasi dll. Memang penulis percaya masih ada penegak hukum yang baik, akan tetapi karena banyak faktor mereka akan dibuat mandul, baik karena pengaruh sistem hukum sekular yang sudah salah dari dasarnya, ataupun terpengaruh pergaulandengan aparat lain yang bermasalah.
            Inilah konsekuensi dari sistem hukum sekular yang menafikan keberadaan Allah, sehingga mengakibatkan para aparat merasa tidak diawasi oleh Allah, dan akhirnya mereka melakukan sesuatu bukan berdasarkan benar-salah, baik-buruk, apalagi halal-haram.

Ketiga, materi dan sanksi hukum bermasalah
            Karena landasan sistem hukum sekular itu bermasalah, maka pada gilirannya menurut Luthfi Afandi (2006: hal 11-12) materi dan sanksi hukum pun akan bermasalah pula, yang tercermin dari beberapa hal berikut:
            (1) Materi dan sanksi hukum tidak lengkap.Ketidaklengkapan ini bukan hanya menimbulkan kekacauan, tetapi juga memicu tindak kriminalitas lainnya. Contoh: dalam KUHP Pasal 284, yang termasuk kategori perzinaan (persetubuhan diluar nikah) yang dikenakan sanksi hanyalah pria dan atau wanita yang telah menikah. Itu pun jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.Jika yang berzina salah satu atau kedua-duanya belum menikah dan dilakukan atas dasar suka-sama suka, mereka tidak dikenakan sanksi.Saat ini fenomena free sex di kalangan remaja, lalu hamil diluar nikah, dan berujung pada aborsi, diduga kuat salah satunya karena tidak adanya sanksi atas mereka.
            Contoh lain, tidak adanya aturan tentang interaksi pria-wanita, termasuk batasan aurat, berdampak mudahnya terjadi pelecehan terhadap wanita; tidak adanya sanksi bagi peminum miras menyebabkan rusaknya akal masyarakat dan tentunya memicu tindakan kriminal dll.
            (2)Sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera. Salah satu tujuan diterapkannya sanksi bagi pelaku kejahatan adalah supaya pelaku tidak mengulangi perbuatannya kembali. Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum dengan sanksi yang membuat jera. Sebagai contoh: pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP) hanya dikenakan sanksi paling lama penjara 15 tahun; pencurian (Pasal 362 KUHP) hanya dikenakan sanksi paling lama 5 tahun; hubungan badan (perzinaan) sebagaimana dalam Pasal 284 KUHP hanya dikenakan sanksi paling lama 9 bulan penjara.Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera ini, alih-alih menekan angka kejahatan, yang terjadi, jumlah penjahat dan residivis terus meningkat. Akibatnya, Pemerintah kewalahan untuk membiayai makan para napi/tahanan. Selama 4 tahun anggaran untuk hunian Lapas mencapai Rp 1,5 triliun, namun tidak cukup menangani over kapasitas di 463 Lapas/Rutan se Indonesia (republika.co.id, 12/8/2014).
            Selain itu, di penjara, terpidana bukan hanya dapat ‘kuliah’ gratis cara melakukan kejahatan yang lebih besar, bahkan disinyalir penjara malah menjadi tempat yang nyaman melakukan pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus pemerasan, serta kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi diantara narapidana, tetapi disinyalir juga bisa dengan pihak lain, seperti pegawai LP atau pengunjung.
            (3) Hukum hanya mementingkan ‘kepastian hukum’ dan mengabaikan keadilan. Sistem hukum di Indonesia mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian hukum dan harus bersendikan keadilan (C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum: hal. 40). Realitanya, hingga kini para ahli hukum ‘bingung’ untuk menentukan mana yang harus didahulukan, kepastian hukum atau keadilan? Banyak ketentuan yang dihasilkan di negeri ini yang memiliki kepastian hukum tetapi mengusik rasa keadilan bahkan merugikan.
Alih-alih memberikan keadilan, yang ada, produk hukum hanyalah dijadikan alat untuk memuaskan kepentingan para pembuat dan pembeli pasalnya. Sebagai contoh: Perda K-3 sering dijadikan alat aparat menindas rakyat dengan cara menggusur rumah penduduk dan mengusir PKL tanpa memberi solusi memuaskan. UU Migas (No. 22/2001) yang memberikan peluang kepada asing melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir mengakibatkan kebijakan merugikan rakyat, yakni kebijakan menaikan harga BBM hingga penghapusan subsidi.UU Sumber Daya Air (No. 7/2004) yang berdampak pada komersialisasi air yangmembebani rakyat. Dan tentu sederet UU dan peratutan lainnya.
(4) Tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Sebagai konsekuensi dan ketidaksempurnaan pembuat hukum, yakni manusia, hukum yang diterapkan di Indonesia sering mengalami perubahan karena tidak tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak ketentuan dalam KUHP yang sudah usang mengharuskan adanya UU baru yang ‘menyempurnakan’, seperti UU Korupsi, UU Pers, UU KDRT, UU ITE dll.UU tersebut pun banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun, tidak hanya itu negeri inipun sudah beberapa kali melakukan amandemen, semua ini adalah bukti nyata, bahwa hukum buatan manusia memang sangat rentan mengalami perubahan karena harus menyesuaikan dengan kondisi. Tidak hanya itu, perubahan atau pembuatan undang-undang baru selalu dibarengi dengan proyek anggaran yang melangit. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengungkapkan anggaran untuk pembuatan satu undang-undang di DPR mencapai Rp 9 miliar (news.liputan6.com, 31/12/2012). Sementara anggaran pembentukan RUU di pemerintah ada yang mencapai Rp 3 sampai Rp 10 miliar (republika.co.id, 1/9/2014).
           
Keempat, peradilan yang rusak
          Selain ketiga hal diatas, peradilan yang rusak di negeri ini pun menjadi faktor lain yang menyebabkan keamanan, ketentraman dan bahkan keadilan menjadi barang langka dan hampir punah. Hal ini dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Peradilan yang berjenjang.Di Indonesia, struktur pengadilan berjenjang, sehingga keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya bisa dibatalkan pengadilan lebih tinggi. Fenomena ini bisa dimanfaatkan pelaku mafia peradilan entah para jaksa, hakim, maupun pengacara yang menjadikannya sebagai bisnis basah. Akhirnya para kriminal pun akan sangat sulit diadili karena sistem ini.
(2) Pembuktian yang tidak meyakinkan. Idealnya, pembuktian wajib bersifat pasti dan meyakinkan, sehingga keputusan hakim yang dihasilkan pun pasti dan meyakinkan. Maka seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam pembuktian kasus perdata serta keterangan ahli dalam dalam kasus pidana, dihapuskan, karena persangkaan hanya akan menghasilkan ketidakpastian dan keterangan ahli seharusnya diposisikan hanya sekedar informasi (khabar) saja. Jika mekanisme ini dipertahankan, maka pemalsuan bukti, keterangan dan saksi palsu akan terus berlanjut.
(3) Tidak ada Persamaan di depan hukum. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada pejabat negara –setingkat kepala daerah dan anggota DPRD–tersangkut perkara pidana harus mendapatkan izin dari Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan memakan waktu serta justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah kepalsuan. Hukum tumpul keatas dan tajam ke bawah. Ini semakin memperparah kondisi rawan kejahatan di Indonesia.
Keempat hal tersebut itulah –produk hukum, aparat bermental bobrok, sanksi-materi hukum bermasalah, dan peradilan yang rusak– yang menyebabkan hukum sekular buatan manusia itu lemah dan cacat, sehingga tidak mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat, dan tindak kriminal malah semakin merajalela. Karena itu menyelesaikan masalah keamanan dan tindak kriminal dengan hukum sekular buatan manusia, bukanlah solusi, malah akan menambah masalah yang semakin rumit dan berat.

Solusi Islam
          Islam memiliki solusi dalam menciptakan kondisikota atau negara yang aman dan tentram, sehingga berbagai tindak kriminalitas bisa diatasi secara efektif. Namun, terdapat prasyarat menuju kesana, yakni Islam sebagai agama dan ideologi, harus dilaksanakan secara utuh dengan tegas. Artinya hukum Islam mesti diterapkan di negeri ini, dan hukum sekular sebagai biang masalah merajalelanya kriminalitas harus dibuang.
            Solusi Islam untuk menciptakan sebuah kota atau negara yang aman dari berbagai macam kejahatan, bisa dirinci sebagai berikut:
Pertama,menurut Islam, keamanan merupakan hak rakyat yang menjadi kewajiban negara untuk mewujudkannya. Rasa aman muncul ketika tidak ada ancaman terhadap jiwa, fisik, psikis, harta, kehormatan dan keamanan. Hal itu bisa terwujud jikakeimanan dan ketakwaan ada pada individu masyarakat, sehingga mencegahnya berbuat kriminal. Untuk itu Islam mewajibkan negara agar secara sistematis mengokohkan keimanan dan membina ketakwaan rakyat. Hal itu bisa ditempuh melalui sistem pendidikan formal maupun non formal pada semua jenjang, level, usia dan kalangan.Diantaranya adalah menanamkan pemahaman bahwa seorang muslim wajib memberi rasa aman kepada orang lain.
Nabi saw bersabda (artinya):“Muslim itu adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya”(HR. Al-Bukhari, 9; Muslim, 58).Seorang muslim juga haram mengacungkan senjata kepada sesama muslim, dan dilarang membawa senjata ke tengah-tengah pasar dan kerumunan orang. Sabda Nabi saw (artinya): “Siapa yang mengacungkan senjata terhadap kami maka bukan golongan kami”(HR. Al-Bukhari, 6543).Islam juga mengharamkan teror baik fisik maupun teror psikis. Rasul bersabda (artinya): “Seorang muslim tidak halal meneror muslim lainnya”(HR Abu Dawud, 4351; Ahmad, 21986).
Kedua,untuk mencegah terjadinya kejahatan atau kemungkaran, Islam juga mewajibkan masyarakat untuk saling menasihati dan melakukan amar makruf nahi munkar sesama mereka. Dan negara wajib menjamin atmosfer yang kondusif untuk itu. Semisal,memperbolehkan berbagai macam jamaah, ormas atau partai, selama berasaskan Islam, dan melarang keberadaan LSM, partai, atau ormas yang tidak berasaskan Islam.
Ketiga,negara dalam Islam wajib mengikis habis faktor-faktor yang sering diklaim menjadi sebab kriminalitas. Misal, alasan keterpaksaan karena kesulitan ekonomi, dikikis melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang akan mampu memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan) dan kebutuhan dasar (kesehatan, pendidikan) untuk rakyat. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, kekayaan akan terdistribusi secara adil dan merata. Setiap orang juga mendapat jaminan untuk bisa memenuhi kebutuhan pelengkapnya sesuai kemampuan masing-masing.
Sistem pergaulan pria-wanita, kewajiban menutup aurat, juga diterapkan guna menjaga agar kejahatan seksual tidak muncul. Termasuk menutup seluruh pabrik miras, kecuali bagi non muslim, dan memberantas peredaran narkoba.
Keempat, penerapan sistem peradilan Islam. Yakni lembaga yang berfungsi memberitahukan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Peradilan bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara masyarakat (peradilan umum), atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak publik (peradilan hisbah), atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan aparat pemerintah; pejabat atau pegawainya; kepala negara atau lainnya (peradilan mazhalim). (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, 2002: 182).
Dalam Islam tidak ada peradilan agama dan sipil, yang ada hanyalah peradilan syariat, karena hukum yang diterapkan hanya hukum syariat. (Dr. Samih Athif az-Zain, Nizhâm al-Islâm: 70-71). Konsepsi peradilan dalam Islam bersifat tunggal dan tidak bertingkat, hal ini dilihat dari segi keputusan, artinya tidak ada pengadilan banding dan kasasi. Ketika seorang hakim memutuskan sebuah kasus, maka keputusannya tidak bisa dibatalkan oleh hakim yang lain. Kaidah syariah menyatakan:Sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad semisalnya. (Khalaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, 1947: 221). Sehingga peluang mafia peradilan akan hilang disini.
Kasus-kasus dibawah peradilan hisbah, misalnya, bisa saja diputuskan diluar mahkamah (ruang sidang). Sebab, hisbah tidak memerlukan penuntut dan terdakwa, termasuk pembuktiannya sebagaimana peradilan umum. Demikian pula peradilan mazhalim. Kasus yang ditangani peradilan ini tidak mesti diputuskan melalui mahkamah (ruang sidang), karena mazhalim memiliki wewenang memeriksa dan memutuskan perkara kezhaliman berdasarkan terjadinya kezhaliman tersebut, tanpa terikat syarat apapun: baik tempat, waktu, dan sidang pengadilan dll. Dengan ini keadilan tidak perlu dicari, namun keadilan hukum dan keamanan publik sudah terjamin, tanpa pandang bulu, serta kesan peradilan yang berbelit-belit pun akan hilang.
Sedangkan Peradilan Umum, memerlukan mahkamah (ruang sidang), karena berbagai kasus yang diputuskan pengadilan umum melibatkan dua pihak: penuntut dan terdakwa. Seorang qadhi (hakim) umum, tidak boleh memutuskan perkara kecuali dalam majelis (sidang) pengadilan. Pembuktian dan sumpah dianggap sah, hanya yang disampaikan di dalam sidang pengadilan.Selain itu dari sisi psikologis, seorang qadhi harus dalam kondisi normal dan prima ketika bertugas,sertatidak dalam tekanan pihak tertentu, yang dapat mengganggu dalam bertugas. Ini menunjukan independensi seorang hakim sangat tinggi dan keputusannya sangat menjamin kepastian dan rasa keadilan.
Selain itu, pembuktian dalam Islam akan sangat meyakinkan sekali. Karena, pembuktian (al-bayyinah) adalah hukum syariat sebagaimana hukum syariat yang lain. Maka, pembuktian harus digali dari dalil syariat. Berdasarkan dalil syariat, pembuktian (dalam mahkamah) ada empat macam: pengakuan, sumpah, kesaksian, dan dokumen tertulis. Artinya, rekaman video, suara, foto dan selain empat bukti tersebut tidak bisa dijadikan bukti kuat langsung untuk menjerat seseorang.
Kelima, menciptakan aparat yang bersih.Dengan prosedur sebagai berikut:
(1)Sistem penggajian yang layak. Para aparat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukupi nafkah keluarga. Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda tawaran para pelaku kriminal, mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas yang layak. Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa yang bekerja untukku dalam keadaan tidak beristri, hendaklah menikah; atau tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil pelayan; atau tidak mempunyai rumah, hendaklah mengambil rumah; atau tidak mempunyai tunggangan (kendaraan), hendaknya mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu, dia curang atau pencuri!” (HR. Ahmad, 17331).
(2)Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Hal itu akan berpengaruh buruk pada mental aparat, sehingga tidak bekerja sebagaimana mestinya. Di peradilan, berdampak pada ketidakadilan dalam penegakan hukum dan cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
Tentang larangn suap Rasul bersabda (artinya):“Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Ibnu Majah, 2304).Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul bersabda (artinya): Tidak pantas seorang petugas yang kami utus datang dan berkata, “Ini untuk Anda, sementara ini adalah hadiah yang diberikan untuk saya.” Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu memperhatikan, apakah ia akan mendapatkan hadiah atau tidak?!(HR. Al-Bukhari, 6639; Abu Dawud, 2557; ad-Darimi, 2548).
(3)Perhitungan kekayaan. Agar tidak berbuat curang, Khalifah Umar ra. selalu menghitung kekayaan para pejabat atau aparatnya di awal dan di akhir jabatannya. Jika terdapat kenaikan tidak wajar, Khalifah Umar ra. akan memaksa mereka untuk menyerahkan kelebihan itu kepada negara (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad, dan Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
(4)Teladan pimpinan. Dengan keteladan pemimpin, tindakan atas penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan juga tidak sulit dilakukan. Khalifah Umar ra., misalnya, pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar ra. Pasalnya, unta tersebut kedapatan ada bersama beberapa unta lain yang digembalakan di padang rumput milik negara. Khalifah Umar ra. menilai hal tersebut sebagai penyalahgunaan fasilitas negara.
(5) Pembinaan SDM aparat berbasis akidah Islam. Penyimpangan aparat, pada akhirnya memang berpulang pada kekuatan iman dan kontrol diri para aparat itu sendiri. Dengan iman yang teguh, ia akan merasa selalu diawasi Allah swt dan selalu takut untuk melakukan penyelewengan yang akan membawanya pada azab neraka. Dengan ini diharapkan tercipta aparat yang bersih dan selalu menjunjung kebenaran dan keadilan.
Keenam, penerapan sistem sanksi dalam Islam.Secara filosofissanksi dalam Islam memiliki fungsi istimewa yang tidak dimiliki oleh hukum buatan manusia yang sekular, yakni: bersifat Zawâjir (membuat jera di dunia), dan Jawâbir (penghapus dosa di akhirat).
            Zawajir artinya membuat jera pelaku kriminal sehingga tidak melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, hal ini membuat anggota masyarakat enggan membunuh, sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat dapat terjaga dengan baik. (QS. Al-Baqarah [2]: 179).
Adapun jawabir, artinya pelaksanaan hukuman tersebut dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat kelak. Jadi, kalau orang mencuri lalu dihukum potong tangan, di akhirat Allah tidak akan menyiksanya lagi akibat pencurian yang dilakukannya di dunia, karena hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu. (HR. Al-Bukhari, 17 dst; dan Muslim, 3223).
Beberapa contoh, sanksi yang mampu menjaga keamanan dan memberantas kejahatan:
(1) Menjaga keamanan akidah, ketika hukum atas orang murtad diterapkan, yaitu dibunuh. Kecuali bertaubat. Juga ketika sanksi atas orang dan kelompok yang menyebarkan pemikiran dan ideologi kufur dilaksanakan.
(2) Menjaga keamanan dalam negeri, ketika sanksi atas pembangkang negara (bughat) diterapkan, yaitu diperangi dengan maksud mendidik.Tetapi, sebelum diperangi mereka disadarkan terlebih dahulu. Caranya, Khalifah mengirim utusan kepada mereka. Jika mereka kembali taubat, mereka dibiarkan, tetapi jika tidak, mereka harus diperangi sampai menyerah dan menyesali perbuatannya.
(3) Menjaga keamanan lingkungan, ketika sanksi quthâ’ at-tharîq (hukuman atas perampok, perusuh dan pelaku tindak kriminal) diterapkan.Hukuman bagi quththâ’ ath-tharîq, harus dijatuhi hukuman sesuai dengan tindakannya. Jika mereka membunuh tanpa mengambil harta, mereka harus dibunuh. Jika membunuh dengan mengambil harta, mereka dibunuh dan disalib. Jika mengambil harta tanpa membunuh, dipotong tangan kanan dan kaki kirinya. Jika menakut-nakuti orang yang lewat, tanpa membunuh dan mengambil hartanya, mereka harus dibuang atau diasingkan.
(4) Menjaga keamanan harta penduduk, ketika hukum atas pencuri diterapkan, yaitu dipotong tangannya jika memenuhi syarat untuk dipotong. Juga ketika sanksi ta’zir atas pelaku suap, korupsi dan sebagainya diterapkan.
(5) Menjaga keamanan generasi, ketika hukum atas pelaku zina diterapkan.Orang yang menyetubuhi orang lain tanpa ikatan perkawinan, apalagi berupa perkosaan, dihukum cambuk 100 kali jika belum menikah, dan dirajam hingga mati jika sudah pernah menikah.Kekerasan seksual yang tidak sampai tingkat itu tetap dijatuhi sanksi yang berat. Disisi lain, menikah dijadikan sebagai satu-satunya tuntunan memenuhi naluri seksual, serta diharamkannya zina, liwath, dan sejenisnya sebagai cara pemenuhan kebutuhan seks. Meskipun hukum menikah itu sendiri adalah sunnah.
(6) Menjaga kehormatan dan nama baik individu masyarakat, ketika hukum al-qadzaf (sanksi atas orang yang menuduh zina) diterapkan, yaitu dicambuk 80 kali, jika tuduhannya tidak terbukti. Juga ketika wanita diposisikan sebagai kehormatan yang wajib dijaga, dan bukan sebagai benda murahan.
(7) Menjaga kesehatan akal masyarakat, ketika hukum had atas peminum minuman keras, pecandu narkoba dan sebagainya, diterapkan, yaitu dicambuk tidak kurang dari kali 80. Jika sampai level pengedar besar bisa dihukum mati, ini sesuai kadar kejahatannya.
(8) Menjaga keamanan jiwa, ini terealisir jika hukum had atas pembunuh dilaksanakan. Bagi pembunuhan disengaja, pelakunya akan dibalas dibunuh (qishash), kecuali dimaafkan oleh ahli waris korban, namun dia harus membayar diyat (QS. Al-Baqarah: 178) berupa 100 ekor onta (40 diantaranya bunting). Pelaku pembunuhan jenis lainnya wajib membayar diyat 100 ekor onta, atau senilai 1.000 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Demikian, orang yang melakukan pelanggaran fisik, terhadapnya diterapkan qishash. Jika menyebabkan cedera organ, ia diharuskan membayar diyat yang tidak kecil sesuai ketentuan syariah.
Dengan semua itu dan penerapan syariah Islam secara total, maka peluang terjadinya kejahatan akan minim sekali. Jika pun ada orang yang melakukan kejahatan, maka sanksi dan pidana Islam yang diterapkan akan membuat pelakunya kapok dan orang lain tidak berani melakukan kejahatan.
Penerapan sistem sanksi dan hukuman itu akan efektif menjadi benteng terakhir yang bisa mencegah dan mengikis terjadinya tindak kejahatan. Pada akhirnya keselamatan dan rasa aman bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Wallahu a’lam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAUSIYAH NIKAH dan DO'ANYA

soal essay b. Arab kelas 6