Cara Islam Cipta'in Jakarta yang Aman dan Nyaman
Cara
Islam Ciptakan Jakarta yang Aman dan Nyaman
Oleh: Bang Aan
Pengajar di Madrasah
aja
Email : muhammadfarhan194.mf@gmail.com
Mobile : 0896-67544144
Sebuah survei mengejutkan dari
Economist Intelligence Unitmenyebutkan Jakarta sebagai kota paling tidak
aman di dunia. Survei ini memasukkan 40 indikator kuantitatif dan kualitatif,
yang terbagi dalam empat kategori tematik yakni keamanan digital, jaminan
kesehatan, infrastruktur, dan personal. Dalam survei itu, ibu kota Jepang,
Tokyo, menduduki peringkat tertinggi dalam hal keamanan secara keseluruhan. Tokyo
pun bagus dalam hal keamanan digital, tiga poin di atas Singapura yang
menduduki posisi kedua. Sementara Jakarta menduduki posisi terendah dari 50
kota yang disurvei dalam hal keamanan secara keseluruhan. (cnnindonesia.com,
29/1/2015).
Seolah mengkonfirmasi
survei diatas, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar
Heru Pranoto, menyebutkan tingkat kerawanan Jakarta semakin meningkat tiap
tahunnya. "Memang dari tanggal 31 Desember 2014 sampai 27 Januari 2015, kejahatan
menggunakan senjata api dan tajam itu agak meningkat. Ada hampir 10 kejadian,
kami telah ungkap 7 kejadian. Sisanya kita upayakan untuk ungkap," kata
Heru. (metro.news.viva.co.id, 28/1/2015).
Kepala Biro Operasional
Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Daniel Pasaribu mengatakan, dari data
yang tercatat untuk di wilayah hukum Polda Metro Jaya terdapat 54 titik rawan
kejahatan. Sebanyak 38 titik berada di wilayah pemerintahan DKI Jakarta, dan
sisanya di wilayah Bekasi, Depok, dan Tangerang. "Khusus Polda Metro Jaya
terdapat 13 titik, Polres Jakarta Pusat 10 titik, Polres Jakarta Utara 3 titik,
Polres Jakarta Timur 3 titik, Polres Jakarta Barat 6 titik, dan Polres Jakarta
Selatan 3 titik." (nasional.news.viva.co.id, 30/1/2015).
Kejahatan seolah terjadi
pemerataan di negeri ini, kejahatan begal motor misalnya, sudah terjadi di
Jabodetabek, Lampung, Palembang Sumsel, Sumut, beberapa daerah Jawa Timur, juga
di Makasar Sulsel. Di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi) kejahatan begal motor sudah sangat meresahkan masyarakat. Polda Metro
Jaya mencatat ada 80 kasus begal yang terjadi sepanjang Januari 2015 di
berbagai wilayah di Jabodetabek. (kompas.com,
26/2/2015).
Kasus kejahatan yang
meresahkan masyarakat tidak hanya terjadi di kota besar, bahkan terjadi pula di
daerah. Purwakarta, misalnya, telah terjadi kasus pembunuhan sadis terhadap ibu
dan putrinya, pada Minggu 15 Februari 2015, yang dilatarbelakangi dendam
pribadi terhadap suami korban. (news.okezone.com, 17/2/2015).
Berdasarkan itu semua, negeri
ini mungkin layak disebut sebagai negeri dengan banyak kota yang tidak aman,dan
kejahatan merajalela dimana-mana.
Akar Masalah
Penyebab sebuah kota atau negeri itu dikatakan tidak
aman, salah satunya adalah meningkatnya kriminalitas yang tidak bisa ditangani
secara efektif. Setiap hari kita bisa saksikan berbagai pemberitaan di media
massa, baik cetak maupun elektronik mengupas liputan mengenai berbagai
kriminalitas. Beragam motif kejahatan kerap muncul dan menghiasi berita media.
Fakta ini menunjukan sistem hukum sekular di negeri ini sudah gagal dalam
menjamin rasa aman dari kejahatan.
Kegagalan tersebut, jika dianalisis secara mendalam
dan seksama, disebabkan oleh kelemahan dan kekurangan hukum di Indonesia itu
sendiri. Paling tidak ada empat faktor signifikan yang melatarbelakangi
kelemahan tersebut, yakni: masalah produk hukum, penegak hukum, dan sanksi hukum,
serta peradilan yang rusak.
Pertama, produk hukum bermasalah
Produk hukum yang diterapkan di Indonesia, secara filosofis
bermasalah, karena produk hukum tersebut sangat dipengaruhi dan dilandasi
sistem hukum Barat yang sekular.Sistem ini muncul bersamaan dengan kemunculan
sistem demokrasi pada abad kegelapan pertengahan (the dark middle age)
yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk membuat hukum tanpa terikat ajaran
agama (Kristen).
Sumber pokok hukum perdata di Indonesia (burgerlijk
wetboek) berasal dari hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838),
karena Belanda pernah diduduki Perancis, maka hukum tersebut berlaku juga di
Belanda. Di tanah air hukum tersebut baru mulai sejak 1 Mei 1848 M, bersamaan dengan
penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau wetboek van
strafrecht, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 setelah sebelumnya
diberlakukan tahun 1873, juga merupakan plagiat dari KUHP untuk golongan Eropa
(1867). Dan KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan plagiat dari Code
Penal, yaitu Hukum Pidana di Prancis zaman Napoleon (1811). Begitu juga
dengan hukum acara perdata dan pidana yang juga berasal dari Barat. (Luthfi
Afandi, Jurnal al-Wa’ie, ed. 71, 2006: 10-11).
Karena itu, sistem hukum di Indonesia merupakan
produk Barat sekular yang mengesampingkan al-Khaliq sebagai Pencipta manusia,
alam semesta, dan kehidupan ini. Sehingga, produk hukum yang dikeluarkan pasti
bermasalah, tidak akan sempurna dan memiliki kelemahan.
Kedua, aparat hukum bermasalah
Faktor
lain yang menyebabkan hilangnya rasa aman di tengah masyarakat, adalah faktor
aparat hukumnya itu sendiri.Sudah rahasia umum, bahkan banyak media telah
menginformasikan bagaimana bobroknya mental aparat di negara ini, mulai dari
polisi, panitera, jaksa, bahkan hingga hakim.
Sudah
tidak terhitung banyaknya kasus yang menimpa aparat penegak hukum. Kepolisian
misalnya, hingga hari ini masih tersandung skandal rekening gendut, konflik
dengan KPK, termasuk korupsi dan suap-menyuap. Para jaksa dan hakim di
indonesia pun banyak yang terksangkut kasus, mulai dari mafia peradilan, suap
menyuap, gratifikasi dll. Memang penulis percaya masih ada penegak hukum yang
baik, akan tetapi karena banyak faktor mereka akan dibuat mandul, baik karena
pengaruh sistem hukum sekular yang sudah salah dari dasarnya, ataupun
terpengaruh pergaulandengan aparat lain yang bermasalah.
Inilah
konsekuensi dari sistem hukum sekular yang menafikan keberadaan Allah, sehingga
mengakibatkan para aparat merasa tidak diawasi oleh Allah, dan akhirnya mereka
melakukan sesuatu bukan berdasarkan benar-salah, baik-buruk, apalagi
halal-haram.
Ketiga, materi dan sanksi hukum
bermasalah
Karena
landasan sistem hukum sekular itu bermasalah, maka pada gilirannya menurut
Luthfi Afandi (2006: hal 11-12) materi dan sanksi hukum pun akan bermasalah
pula, yang tercermin dari beberapa hal berikut:
(1)
Materi dan sanksi hukum tidak lengkap.Ketidaklengkapan ini bukan hanya
menimbulkan kekacauan, tetapi juga memicu tindak kriminalitas lainnya. Contoh:
dalam KUHP Pasal 284, yang termasuk kategori perzinaan (persetubuhan diluar nikah)
yang dikenakan sanksi hanyalah pria dan atau wanita yang telah menikah. Itu pun
jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.Jika yang berzina salah
satu atau kedua-duanya belum menikah dan dilakukan atas dasar suka-sama suka,
mereka tidak dikenakan sanksi.Saat ini fenomena free sex di kalangan
remaja, lalu hamil diluar nikah, dan berujung pada aborsi, diduga kuat salah
satunya karena tidak adanya sanksi atas mereka.
Contoh
lain, tidak adanya aturan tentang interaksi pria-wanita, termasuk batasan
aurat, berdampak mudahnya terjadi pelecehan terhadap wanita; tidak adanya
sanksi bagi peminum miras menyebabkan rusaknya akal masyarakat dan tentunya
memicu tindakan kriminal dll.
(2)Sanksi
hukum tidak menimbulkan efek jera. Salah satu tujuan diterapkannya sanksi
bagi pelaku kejahatan adalah supaya pelaku tidak mengulangi perbuatannya
kembali. Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum dengan sanksi yang membuat jera.
Sebagai contoh: pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP) hanya dikenakan
sanksi paling lama penjara 15 tahun; pencurian (Pasal 362 KUHP) hanya dikenakan
sanksi paling lama 5 tahun; hubungan badan (perzinaan) sebagaimana dalam Pasal
284 KUHP hanya dikenakan sanksi paling lama 9 bulan penjara.Sanksi yang tidak
menimbulkan efek jera ini, alih-alih menekan angka kejahatan, yang terjadi,
jumlah penjahat dan residivis terus meningkat. Akibatnya, Pemerintah kewalahan
untuk membiayai makan para napi/tahanan. Selama 4 tahun anggaran untuk hunian Lapas
mencapai Rp 1,5 triliun, namun tidak cukup menangani over kapasitas di 463
Lapas/Rutan se Indonesia (republika.co.id, 12/8/2014).
Selain
itu, di penjara, terpidana bukan hanya dapat ‘kuliah’ gratis cara melakukan
kejahatan yang lebih besar, bahkan disinyalir penjara malah menjadi tempat yang
nyaman melakukan pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus
pemerasan, serta kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus
itu tidak hanya terjadi diantara narapidana, tetapi disinyalir juga bisa dengan
pihak lain, seperti pegawai LP atau pengunjung.
(3)
Hukum hanya mementingkan ‘kepastian hukum’ dan mengabaikan keadilan. Sistem
hukum di Indonesia mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian hukum dan
harus bersendikan keadilan (C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum: hal. 40).
Realitanya, hingga kini para ahli hukum ‘bingung’ untuk menentukan mana yang
harus didahulukan, kepastian hukum atau keadilan? Banyak ketentuan yang
dihasilkan di negeri ini yang memiliki kepastian hukum tetapi mengusik rasa
keadilan bahkan merugikan.
Alih-alih memberikan
keadilan, yang ada, produk hukum hanyalah dijadikan alat untuk memuaskan
kepentingan para pembuat dan pembeli pasalnya. Sebagai contoh: Perda K-3 sering
dijadikan alat aparat menindas rakyat dengan cara menggusur rumah penduduk dan
mengusir PKL tanpa memberi solusi memuaskan. UU Migas (No. 22/2001) yang
memberikan peluang kepada asing melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir
mengakibatkan kebijakan merugikan rakyat, yakni kebijakan menaikan harga BBM
hingga penghapusan subsidi.UU Sumber Daya Air (No. 7/2004) yang berdampak pada
komersialisasi air yangmembebani rakyat. Dan tentu sederet UU dan peratutan
lainnya.
(4) Tidak mampu
mengikuti perkembangan zaman. Sebagai konsekuensi dan ketidaksempurnaan
pembuat hukum, yakni manusia, hukum yang diterapkan di Indonesia sering
mengalami perubahan karena tidak tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
Banyak ketentuan dalam KUHP yang sudah usang mengharuskan adanya UU baru yang
‘menyempurnakan’, seperti UU Korupsi, UU Pers, UU KDRT, UU ITE dll.UU tersebut
pun banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun, tidak hanya itu negeri
inipun sudah beberapa kali melakukan amandemen, semua ini adalah bukti nyata,
bahwa hukum buatan manusia memang sangat rentan mengalami perubahan karena
harus menyesuaikan dengan kondisi. Tidak hanya itu, perubahan atau pembuatan
undang-undang baru selalu dibarengi dengan proyek anggaran yang melangit. Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengungkapkan anggaran untuk
pembuatan satu undang-undang di DPR mencapai Rp 9 miliar (news.liputan6.com,
31/12/2012). Sementara anggaran pembentukan RUU di pemerintah ada yang mencapai
Rp 3 sampai Rp 10 miliar (republika.co.id, 1/9/2014).
Keempat, peradilan yang rusak
Selain
ketiga hal diatas, peradilan yang rusak di negeri ini pun menjadi faktor lain
yang menyebabkan keamanan, ketentraman dan bahkan keadilan menjadi barang
langka dan hampir punah. Hal ini dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Peradilan
yang berjenjang.Di Indonesia, struktur pengadilan
berjenjang, sehingga keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya bisa dibatalkan
pengadilan lebih tinggi. Fenomena ini bisa dimanfaatkan pelaku mafia peradilan
entah para jaksa, hakim, maupun pengacara yang menjadikannya sebagai bisnis
basah. Akhirnya para kriminal pun akan sangat sulit diadili karena sistem ini.
(2) Pembuktian yang tidak
meyakinkan. Idealnya, pembuktian wajib bersifat pasti dan meyakinkan,
sehingga keputusan hakim yang dihasilkan pun pasti dan meyakinkan. Maka
seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam pembuktian kasus perdata serta
keterangan ahli dalam dalam kasus pidana, dihapuskan, karena persangkaan hanya
akan menghasilkan ketidakpastian dan keterangan ahli seharusnya diposisikan
hanya sekedar informasi (khabar) saja. Jika mekanisme ini dipertahankan, maka
pemalsuan bukti, keterangan dan saksi palsu akan terus berlanjut.
(3) Tidak ada Persamaan di depan
hukum. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada pejabat negara –setingkat
kepala daerah dan anggota DPRD–tersangkut perkara pidana harus mendapatkan izin
dari Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan memakan waktu serta
justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah kepalsuan.
Hukum tumpul keatas dan tajam ke bawah. Ini semakin memperparah kondisi rawan
kejahatan di Indonesia.
Keempat hal tersebut
itulah –produk hukum, aparat bermental bobrok, sanksi-materi hukum bermasalah,
dan peradilan yang rusak– yang menyebabkan hukum sekular buatan manusia itu
lemah dan cacat, sehingga tidak mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat, dan
tindak kriminal malah semakin merajalela. Karena itu menyelesaikan masalah
keamanan dan tindak kriminal dengan hukum sekular buatan manusia, bukanlah
solusi, malah akan menambah masalah yang semakin rumit dan berat.
Solusi Islam
Islam
memiliki solusi dalam menciptakan kondisikota atau negara yang aman dan
tentram, sehingga berbagai tindak kriminalitas bisa diatasi secara efektif.
Namun, terdapat prasyarat menuju kesana, yakni Islam sebagai agama dan ideologi, harus dilaksanakan secara utuh dengan
tegas. Artinya hukum Islam mesti diterapkan di negeri ini, dan hukum sekular sebagai
biang masalah merajalelanya kriminalitas harus dibuang.
Solusi Islam untuk menciptakan
sebuah kota atau negara yang aman dari berbagai macam kejahatan, bisa dirinci
sebagai berikut:
Pertama,menurut
Islam, keamanan merupakan hak rakyat yang menjadi kewajiban negara untuk
mewujudkannya. Rasa aman muncul ketika tidak ada ancaman terhadap jiwa, fisik,
psikis, harta, kehormatan dan keamanan. Hal itu bisa terwujud jikakeimanan dan
ketakwaan ada pada individu masyarakat, sehingga mencegahnya berbuat kriminal.
Untuk itu Islam mewajibkan negara agar secara sistematis mengokohkan keimanan
dan membina ketakwaan rakyat. Hal itu bisa ditempuh melalui sistem pendidikan
formal maupun non formal pada semua jenjang, level, usia dan kalangan.Diantaranya
adalah menanamkan pemahaman bahwa seorang muslim wajib memberi rasa aman kepada
orang lain.
Nabi saw bersabda (artinya):“Muslim
itu adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya”(HR.
Al-Bukhari, 9; Muslim, 58).Seorang
muslim juga haram mengacungkan senjata kepada sesama muslim, dan dilarang
membawa senjata ke tengah-tengah pasar dan kerumunan orang. Sabda Nabi saw
(artinya): “Siapa yang mengacungkan senjata terhadap kami maka bukan
golongan kami”(HR. Al-Bukhari, 6543).Islam juga
mengharamkan teror baik fisik maupun teror psikis. Rasul bersabda (artinya): “Seorang
muslim tidak halal meneror muslim lainnya”(HR Abu Dawud, 4351; Ahmad,
21986).
Kedua,untuk
mencegah terjadinya kejahatan atau kemungkaran, Islam juga mewajibkan
masyarakat untuk saling menasihati dan melakukan amar makruf nahi munkar sesama
mereka. Dan negara wajib menjamin atmosfer yang kondusif untuk itu. Semisal,memperbolehkan
berbagai macam jamaah, ormas atau partai, selama berasaskan Islam, dan melarang
keberadaan LSM, partai, atau ormas yang tidak berasaskan Islam.
Ketiga,negara dalam
Islam
wajib mengikis habis faktor-faktor yang sering diklaim menjadi sebab
kriminalitas. Misal, alasan keterpaksaan karena kesulitan ekonomi, dikikis
melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang akan mampu memberikan jaminan
pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan) dan kebutuhan dasar
(kesehatan, pendidikan) untuk rakyat. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam,
kekayaan akan terdistribusi secara adil dan merata. Setiap orang juga mendapat
jaminan untuk bisa memenuhi kebutuhan pelengkapnya sesuai kemampuan
masing-masing.
Sistem pergaulan
pria-wanita, kewajiban menutup aurat, juga diterapkan guna menjaga agar kejahatan
seksual tidak muncul. Termasuk menutup seluruh pabrik miras, kecuali bagi non
muslim, dan memberantas peredaran narkoba.
Keempat, penerapan
sistem peradilan Islam. Yakni lembaga yang berfungsi
memberitahukan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Peradilan bertugas
menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara masyarakat (peradilan umum),
atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak publik (peradilan hisbah), atau
mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan aparat pemerintah;
pejabat atau pegawainya; kepala negara atau lainnya (peradilan mazhalim). (Zallum,
Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, 2002: 182).
Dalam Islam tidak ada
peradilan agama dan sipil, yang ada hanyalah peradilan syariat, karena hukum
yang diterapkan hanya hukum syariat. (Dr. Samih Athif az-Zain, Nizhâm al-Islâm:
70-71). Konsepsi peradilan dalam Islam bersifat tunggal dan tidak bertingkat,
hal ini dilihat dari segi keputusan, artinya tidak ada pengadilan banding dan
kasasi. Ketika seorang hakim memutuskan sebuah kasus, maka keputusannya tidak
bisa dibatalkan oleh hakim yang lain. Kaidah syariah menyatakan:Sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad
semisalnya. (Khalaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, 1947:
221). Sehingga peluang mafia peradilan akan hilang disini.
Kasus-kasus dibawah
peradilan hisbah, misalnya, bisa saja diputuskan diluar mahkamah (ruang
sidang). Sebab, hisbah tidak memerlukan penuntut dan terdakwa, termasuk
pembuktiannya sebagaimana peradilan umum. Demikian pula peradilan mazhalim.
Kasus yang ditangani peradilan ini tidak mesti diputuskan melalui mahkamah
(ruang sidang), karena mazhalim memiliki wewenang memeriksa dan memutuskan
perkara kezhaliman berdasarkan terjadinya kezhaliman tersebut, tanpa terikat
syarat apapun: baik tempat, waktu, dan sidang pengadilan dll. Dengan ini
keadilan tidak perlu dicari, namun keadilan hukum dan keamanan publik sudah
terjamin, tanpa pandang bulu, serta kesan peradilan yang berbelit-belit pun
akan hilang.
Sedangkan
Peradilan Umum, memerlukan mahkamah (ruang sidang), karena berbagai kasus yang
diputuskan pengadilan umum melibatkan dua pihak: penuntut dan terdakwa. Seorang
qadhi (hakim) umum, tidak boleh memutuskan perkara kecuali dalam majelis
(sidang) pengadilan. Pembuktian dan sumpah dianggap sah, hanya yang disampaikan
di dalam sidang pengadilan.Selain itu dari sisi psikologis, seorang qadhi harus
dalam kondisi normal dan prima ketika bertugas,sertatidak dalam tekanan pihak
tertentu, yang dapat mengganggu dalam bertugas. Ini menunjukan independensi
seorang hakim sangat tinggi dan keputusannya sangat menjamin kepastian dan rasa
keadilan.
Selain
itu, pembuktian dalam Islam akan sangat meyakinkan sekali. Karena, pembuktian (al-bayyinah)
adalah hukum syariat sebagaimana hukum syariat yang lain. Maka, pembuktian
harus digali dari dalil syariat. Berdasarkan dalil syariat, pembuktian (dalam
mahkamah) ada empat macam: pengakuan, sumpah, kesaksian, dan dokumen tertulis. Artinya,
rekaman video, suara, foto dan selain empat bukti tersebut tidak bisa dijadikan
bukti kuat langsung untuk menjerat seseorang.
Kelima,
menciptakan aparat yang bersih.Dengan prosedur sebagai berikut:
(1)Sistem penggajian yang layak. Para aparat tetaplah manusia biasa yang mempunyai
kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukupi nafkah keluarga. Agar bisa
bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda tawaran para pelaku kriminal,
mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas yang layak. Rasul saw
bersabda (artinya): “Siapa
yang bekerja untukku dalam keadaan tidak beristri, hendaklah menikah; atau
tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil pelayan; atau tidak mempunyai
rumah, hendaklah mengambil rumah; atau tidak mempunyai tunggangan (kendaraan),
hendaknya mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu, dia curang
atau pencuri!” (HR. Ahmad, 17331).
(2)Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat
pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan
pemberi hadiah. Hal itu akan berpengaruh buruk pada mental aparat, sehingga
tidak bekerja sebagaimana mestinya. Di peradilan, berdampak pada ketidakadilan
dalam penegakan hukum dan cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan
hadiah atau suap.
Tentang larangn suap Rasul bersabda (artinya):“Laknat Allah
terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Ibnu Majah, 2304).Tentang hadiah
kepada aparat pemerintah, Rasul bersabda (artinya): Tidak
pantas seorang petugas yang kami utus datang dan berkata, “Ini untuk Anda,
sementara ini adalah hadiah yang diberikan untuk saya.” Mengapa ia tidak
duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu memperhatikan, apakah ia akan
mendapatkan hadiah atau tidak?!(HR. Al-Bukhari, 6639; Abu Dawud, 2557;
ad-Darimi, 2548).
(3)Perhitungan
kekayaan. Agar tidak berbuat curang, Khalifah Umar ra. selalu menghitung
kekayaan para pejabat atau aparatnya di awal dan di akhir jabatannya. Jika
terdapat kenaikan tidak wajar, Khalifah Umar ra. akan memaksa mereka untuk
menyerahkan kelebihan itu kepada negara (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad, dan Târîkh al-Khulafâ’
as-Suyuthi).
(4)Teladan
pimpinan. Dengan keteladan pemimpin, tindakan atas penyimpangan akan
terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan juga tidak sulit dilakukan.
Khalifah Umar ra., misalnya, pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik
putranya, Abdullah bin Umar ra. Pasalnya, unta tersebut kedapatan ada bersama
beberapa unta lain yang digembalakan di padang rumput milik negara. Khalifah
Umar ra. menilai hal tersebut sebagai penyalahgunaan fasilitas negara.
(5)
Pembinaan SDM aparat berbasis akidah Islam. Penyimpangan aparat, pada
akhirnya memang berpulang pada kekuatan iman dan kontrol diri para aparat itu
sendiri. Dengan iman yang teguh, ia akan merasa selalu diawasi Allah swt dan
selalu takut untuk melakukan penyelewengan yang akan membawanya pada azab
neraka. Dengan ini diharapkan tercipta aparat yang bersih dan selalu menjunjung
kebenaran dan keadilan.
Keenam, penerapan
sistem sanksi dalam Islam.Secara filosofissanksi dalam Islam memiliki fungsi
istimewa yang tidak dimiliki oleh hukum buatan manusia yang sekular, yakni:
bersifat Zawâjir (membuat jera di dunia), dan Jawâbir (penghapus
dosa di akhirat).
Zawajir artinya membuat jera
pelaku kriminal sehingga tidak melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan
menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku
pembunuhan, hal ini membuat anggota masyarakat enggan membunuh, sehingga nyawa
manusia di tengah masyarakat dapat terjaga dengan baik. (QS. Al-Baqarah [2]:
179).
Adapun
jawabir, artinya pelaksanaan hukuman tersebut dapat menggugurkan dosa seorang
muslim di akhirat kelak. Jadi, kalau orang mencuri lalu dihukum potong tangan,
di akhirat Allah tidak akan menyiksanya lagi akibat pencurian yang dilakukannya
di dunia, karena hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu. (HR. Al-Bukhari,
17 dst; dan Muslim, 3223).
Beberapa
contoh, sanksi yang mampu menjaga keamanan dan memberantas kejahatan:
(1) Menjaga keamanan
akidah, ketika hukum atas orang murtad diterapkan, yaitu dibunuh. Kecuali
bertaubat. Juga ketika sanksi atas orang dan kelompok yang menyebarkan
pemikiran dan ideologi kufur dilaksanakan.
(2) Menjaga keamanan dalam
negeri, ketika sanksi atas pembangkang negara (bughat) diterapkan, yaitu
diperangi dengan maksud mendidik.Tetapi,
sebelum diperangi mereka disadarkan terlebih dahulu. Caranya, Khalifah mengirim
utusan kepada mereka. Jika mereka kembali taubat, mereka dibiarkan, tetapi jika
tidak, mereka harus diperangi sampai menyerah dan menyesali perbuatannya.
(3) Menjaga keamanan
lingkungan, ketika sanksi quthâ’ at-tharîq (hukuman atas perampok,
perusuh dan pelaku tindak kriminal) diterapkan.Hukuman bagi quththâ’
ath-tharîq, harus dijatuhi hukuman sesuai dengan
tindakannya. Jika mereka membunuh tanpa mengambil harta, mereka harus dibunuh.
Jika membunuh dengan mengambil harta, mereka dibunuh dan disalib. Jika
mengambil harta tanpa membunuh, dipotong tangan kanan dan kaki kirinya. Jika
menakut-nakuti orang yang lewat, tanpa membunuh dan mengambil hartanya, mereka
harus dibuang atau diasingkan.
(4) Menjaga keamanan harta
penduduk, ketika hukum atas pencuri diterapkan, yaitu dipotong tangannya jika
memenuhi syarat untuk dipotong. Juga ketika sanksi ta’zir atas pelaku suap,
korupsi dan sebagainya diterapkan.
(5) Menjaga keamanan
generasi, ketika hukum atas pelaku zina diterapkan.Orang yang
menyetubuhi orang lain tanpa ikatan perkawinan, apalagi berupa perkosaan,
dihukum cambuk 100 kali jika belum menikah, dan dirajam hingga mati jika sudah
pernah menikah.Kekerasan seksual yang tidak sampai tingkat itu tetap dijatuhi
sanksi yang berat. Disisi lain, menikah dijadikan sebagai
satu-satunya tuntunan memenuhi naluri seksual, serta diharamkannya zina,
liwath, dan sejenisnya sebagai cara pemenuhan kebutuhan seks. Meskipun hukum
menikah itu sendiri adalah sunnah.
(6) Menjaga kehormatan dan
nama baik individu masyarakat, ketika hukum al-qadzaf (sanksi atas orang
yang menuduh zina) diterapkan, yaitu dicambuk 80 kali, jika tuduhannya tidak
terbukti. Juga ketika wanita diposisikan sebagai kehormatan yang wajib dijaga,
dan bukan sebagai benda murahan.
(7) Menjaga kesehatan akal
masyarakat, ketika hukum had atas peminum minuman keras, pecandu narkoba dan
sebagainya, diterapkan, yaitu dicambuk tidak kurang dari kali 80. Jika sampai
level pengedar besar bisa dihukum mati, ini sesuai kadar kejahatannya.
(8) Menjaga keamanan jiwa,
ini terealisir jika hukum had atas pembunuh dilaksanakan. Bagi pembunuhan
disengaja, pelakunya akan dibalas dibunuh (qishash), kecuali dimaafkan oleh
ahli waris korban, namun dia harus membayar diyat (QS. Al-Baqarah: 178) berupa
100 ekor onta (40 diantaranya bunting). Pelaku pembunuhan jenis lainnya wajib
membayar diyat 100 ekor onta, atau senilai 1.000 dinar (1 dinar = 4,25 gram
emas). Demikian, orang yang melakukan pelanggaran fisik, terhadapnya diterapkan
qishash. Jika menyebabkan cedera organ, ia diharuskan membayar diyat yang tidak
kecil sesuai ketentuan syariah.
Dengan semua itu dan penerapan
syariah Islam secara total, maka peluang terjadinya kejahatan akan minim sekali.
Jika pun ada orang yang melakukan kejahatan, maka sanksi dan pidana Islam yang
diterapkan akan membuat pelakunya kapok dan orang lain tidak berani melakukan
kejahatan.
Penerapan sistem sanksi dan hukuman
itu akan efektif menjadi benteng terakhir yang bisa mencegah dan mengikis
terjadinya tindak kejahatan. Pada akhirnya keselamatan dan rasa aman bisa
dirasakan oleh seluruh rakyat. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar