SEPUTAR TAHLIL, HAUL & SELAMATAN
Pengertian
Selamatan atau Haul
Haul
berasal dari bahasa arab : berarti telah lewat atau berarti tahun. masyarakat
Jawa menyebutnya (khol/selametane wong mati) yaitu : suatu upacara ritual
keagamaan untuk memperingati meninggalnya seorang yang ditokohkan dari para
wali, ulama’, kyai atau salah satu dari anggota keluarga.
Rangkaian
Acara Selametan atau Haul
1. Khotmul Qur’an yaitu membaca
al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30).
Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Artinya
“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk
mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam
Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan
“sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih
utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
2. Tahlilan
2. Tahlilan
Ibnu
Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut :
اِذَا هَلَّلَ اْلاِنْسَانُ هٰكَذَا : سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْاَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَـفَـعَـهُ الله ُبِذٰلِكَ
Artinya : Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu. Fatawa XXIV/323
3. Doa yang dihadiahkan kepada mayit.
اِذَا هَلَّلَ اْلاِنْسَانُ هٰكَذَا : سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْاَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَـفَـعَـهُ الله ُبِذٰلِكَ
Artinya : Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu. Fatawa XXIV/323
3. Doa yang dihadiahkan kepada mayit.
Syekh Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa
ulama’ telah sepakat mengenai doa dan memohonkan ampunan untuk mayit
sebagaimana dalil di bawah ini
اَلدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـغْـفَارُ وَهٰذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللهِ تَعَالىَ ( وَالَّذِيْنَ جَائُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْ لَناَ وَِلأِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِاْلاِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاَّ ِللَّذِيْنَ أَمَنُوْ رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ) وَتَقَدَّمَ قَوْلُ الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( وَاِذاَصَلَّيْتُمْ عَلىَ اْلمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْالَهُ اَلدُّعَاءَ ) وَحُفِظَ مِنْ دُعَاءِ رَسُوْلِ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( اَللَّهُمَّ اْغفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّـتِـنَا ) وَلاَزَالَ اَلسَّلَفُ وَالْخَلَفُ يَدْعُوْنَ لِلأَمْوَاتِ وَيَسْأَلُوْنَ لَهُمْ اَلرَّحْمَةُ وَاْلغُفْرَانُ دُوْنَ اِنْكَارٍ مِنْ اَحَدٍ .
Artinya
: Do’a dan memohonkan ampun untuk mayit, pendapat ini telah menjadi kesepakatan
ulama’, hal ini berdasarkan firman Allah (Dan orang-orang yang datang setelah
mereka *muhajirin dan anshar* berdoa : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan jangan engkau
jadikan hati kami “mempunyai sifat” dengki kepada orang-orang yang beriman, Ya
Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha penyantun dan Maha penyayang) QS. AL-HASYR
AYAT 10. Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasul Allah saw. Jika kamu
menyalati mayid, maka ikhlaslah dalam berdoa. Dan juga doa Rasulullah saw. Ya
Allah ampunilah orang-orang yang hidup dan yang mati kami (umat Nabi). Ulama’
salaf dan kholaf selalu mendoakan orang-orang mati dan mereka memohonkan
kepadanya rahmat dan ampunan, tanpa seorang pun mengingkarinya.
4.Pengajian
umum yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang
dihauli, yang mencakup nasab, tanggal lahir dan wafat, jasa-jasa, serta
keistimewaan yang patut diteladani.
5.Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah masing-masing (ater-ater) Hal ini berdasarkan kepada perintah Nabi yang berbunyi:
5.Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah masing-masing (ater-ater) Hal ini berdasarkan kepada perintah Nabi yang berbunyi:
وَقاَلَ عَلَيْهِ الصَّلاَة
ُوَالسَّلاَم ُ: تَصَدَّقوُاْ
عَنْ اَنـْفُـسِكُمْ وَعَنْ مَوْتاَكُمْ وَلَوْ بِشُرْبـَةِ مَاءٍ فَـاِنْ لَمْ
تَـقْدِرُوْا عَلَى ذٰلِكَ فَـبِـاَيَةٍ مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَاِنْ لَمْ
تَعْلَمُوْاشَـيْـأً مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَادْعُوْابِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
فَقَدْ وَعَدَ كُمْ بِاْلاِجَابَةِ
Rasulullah
saw. bersabda : bersedekahlah kamu sekalian untuk dirimu sendiri dan untuk ahli
quburmu walau hanya dengan seteguk air, jika kamu sekalian tidak mampu
bersedekah dengan seteguk air maka bersedekahlah dengan satu ayat dari kitab
Allah, jika kamu tidak mengetahui/tidak mengerti sesuatu dari kitab Allah, maka
berdoalah dengan memohon ampunan dan mengharap rahmat Allah, maka sesungguhnya
Allah telah berjanji akan mengabulkan. (Di terangkan dalam kitab Durro
an-Nasikhin, halaman 95).
اَلصَّـدَقَةُ : وَقَدْ حَكىَ
اَلنَّوَوِىُّ اَلاِجْمَاعَ عَلىَ اَنَّهَا تَقَعُ عَنِ اْلمَيِّتِ وَيَصِلُهُ
ثَوَبُهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ وَلَدٍ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ . لِـمَا رَوَاهُ اَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ
وَغَيْرُهُمَا عَنْ اَبِـىْ هُرَيْرَةَ : اِنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّـبِىْ :
اِنَّ أَبِـيْ مَاتَ وَتَرَكَ مَـالاً وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفِّـْر عَنْهُ
اَنْ اَتـَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَالَ النَّـِبىْ , نَـعَـمْ .
Imam
Nawawi menceritakan, bahwa Sedekah (shodaqoh) itu dapat diambil manfaatnya oleh
mayit dan pahalanya pun sampai kepadanya, baik sedekah dari anaknya (keluarga)
maupun selain anak (orang lain), dan ini sudah menjadi kesepakatan ulama’,
karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan lainnya. Dari
Abi hurairah ra. : seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. : Bapak saya
telah meninggal, dia meninggalkan harta dan tidak meninggalkan wasiat. Apakah
dapat menebus dosanya jika aku bersedekah sebagai gantinya?. Nabi menjawab :
Ya, bisa. Keterangan Dalam kitab Peringatan Haul hal. 23-26.
Dalil Haul
Dalil
mengenai haul adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita
Sayyidina Muhammad saw. Telah melakukan ziarah kubur pada setiap tahun yang
kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan utsman. Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidy.
عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ : كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ : سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ .رواه البيهقى .
Artinya: al-Waqidy berkata “Nabi Muhammad saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdoa : keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, inilah sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.
عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ : كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ : سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ .رواه البيهقى .
Artinya: al-Waqidy berkata “Nabi Muhammad saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdoa : keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, inilah sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.
Diterangkan
dalam kitab Ittihaf al-Sadah al-Muttaqin juz XIV hal.271, kitab Mukhtashor Ibnu
Katsir juz 2 hal.279, dan dalam kitab Raddu al-Mukhtar ‘ala al-durri al-Mukhtar
juz 1 hal 604.
Hukum Selametan 1-7, 40, 100 hari dan Haul
Mengenai
hukum haul dan selamatan ulama’ berbeda pendapat, tetapi mayoritas ulama’ dari
empat madzhab berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal shaleh (selametan) yang
dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang sudah mati
(mayit). Namun di sini akan kami paparkan seputar khilaf para ulama mengenai
hal ini (yang membolehkannya dan yang tidak memperbolehkannya) Adapun berbagai
pendapat ulama’ madzhab beserta dalil-dalilnya akan kami terangkan di bawah
ini;
A.
Pendapat sahih yang memperbolehkan
1.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul
Islam Taqiyuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Abd. Halim (yang lebih populer dengan
julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab hambali) dalam kitab Majmu’
Fatawa : XXIV/314-315, menjelaskan sebagai berikut ini:
اَمَّا الصَّدَقَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَـِانَّهُ يَنْـتَـفِعُ بِهَا بِاتِّـفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ . وَقَدْ وَرَدَتْ بِذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحَا دِيْثُ صَحِيْحَةٌ مِثْلُ قَوْلِ سَعْدٍ ( يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اُفْتـُلِتـَتْ نَفْسُهَا وَاَرَاهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْـفَـعُهَا اَنْ اَتَـصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ : نَـعَمْ , وَكَذٰلِكَ يَـنْـفَـعُهُ اَلْحَجُّ عَنْهُ وَاْلاُ ضْحِيَةُ عَنْهُ وَالْعِتْقُ عَنْهُ وَالدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـْغفَارُ لَهُ بِلاَ نِزاَعٍ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ .
Artinya : Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi saw, seperti kata sa’at “Ya Rasul Allah, sesungguhnya ibuku wafat, dan aku berpendapat jika ia masih hidup pasti bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya ?” maka beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit : haji, qurban, memerdekakan budak, doa dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam.
اَمَّا الصَّدَقَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَـِانَّهُ يَنْـتَـفِعُ بِهَا بِاتِّـفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ . وَقَدْ وَرَدَتْ بِذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحَا دِيْثُ صَحِيْحَةٌ مِثْلُ قَوْلِ سَعْدٍ ( يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اُفْتـُلِتـَتْ نَفْسُهَا وَاَرَاهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْـفَـعُهَا اَنْ اَتَـصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ : نَـعَمْ , وَكَذٰلِكَ يَـنْـفَـعُهُ اَلْحَجُّ عَنْهُ وَاْلاُ ضْحِيَةُ عَنْهُ وَالْعِتْقُ عَنْهُ وَالدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـْغفَارُ لَهُ بِلاَ نِزاَعٍ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ .
Artinya : Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi saw, seperti kata sa’at “Ya Rasul Allah, sesungguhnya ibuku wafat, dan aku berpendapat jika ia masih hidup pasti bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya ?” maka beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit : haji, qurban, memerdekakan budak, doa dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam.
Dan
lebih spesifik lagi beliau menjelaskan dalam hal sampainya hadiah pahala
shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada mayit dalam kitab Fatawa : XXIV/322
sebagai berikut ini
فَاِذَا اُهْدِيَ لِمَيِّتٍ ثَوَابُ صِياَمٍ اَوْ صَلاَةٍ اَوْ قِرَئَةٍ جَازَ ذَلِكَ
Artinya : “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.
فَاِذَا اُهْدِيَ لِمَيِّتٍ ثَوَابُ صِياَمٍ اَوْ صَلاَةٍ اَوْ قِرَئَةٍ جَازَ ذَلِكَ
Artinya : “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.
2.Menurut
Imam Nawawi
Al-Imam
Abu Zakariya Muhyiddin ibn as-Syaraf, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan
panggilan Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal
258. menegaskan.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayat, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayat, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
Selain
paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti
tertera di bawah ini
وَيُـسْـتَحَبُّ لِلزَّائِرِ اَنْ يُسَلِّمَ عَلىَ اْلمَقَابِرِ وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ اَهْلِ اْلمَقْبَرَةِ. وَاْلاَفْضَلُ اَنْ يَكُوْنَ اَلسَّلاَمُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبـَتَ مِنَ اْلحَدِيْثِ وَيُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْأَنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عَقِبَهَا وَنَصَّ عَلَيْهِ اَلشَّاِفعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ . المجموع : 5 – 282.
“Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendoakan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan doa itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan/ajarkan dari Nabi Muhammad saw., dan disunahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdoa untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-umm) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya.
وَيُـسْـتَحَبُّ لِلزَّائِرِ اَنْ يُسَلِّمَ عَلىَ اْلمَقَابِرِ وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ اَهْلِ اْلمَقْبَرَةِ. وَاْلاَفْضَلُ اَنْ يَكُوْنَ اَلسَّلاَمُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبـَتَ مِنَ اْلحَدِيْثِ وَيُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْأَنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عَقِبَهَا وَنَصَّ عَلَيْهِ اَلشَّاِفعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ . المجموع : 5 – 282.
“Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendoakan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan doa itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan/ajarkan dari Nabi Muhammad saw., dan disunahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdoa untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-umm) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya.
3.Menurut
Imam Ibnu Qudamah
Al-‘Allamah
al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hanbali mengemukakan pendapatnya
dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal.
566.
قَالَ : وَلاَ بَأْسَ بِالْقِرَائَـةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ . وَقَدْ رُوِيَ عَنْ اَحْمَدَ اَنَّـهُ قَالَ : اِذاَ دَخَلْتمُ ْالَـْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا اَيـَةَ اْلكُـْرسِ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ اِنَّ فَضْلَهُ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ .
Artinya “al-Imam ibn Qudamah berkata : tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal bahwasannya beliau berkata : jika hendak masuk kuburan/makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan doa : Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.
قَالَ : وَلاَ بَأْسَ بِالْقِرَائَـةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ . وَقَدْ رُوِيَ عَنْ اَحْمَدَ اَنَّـهُ قَالَ : اِذاَ دَخَلْتمُ ْالَـْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا اَيـَةَ اْلكُـْرسِ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ اِنَّ فَضْلَهُ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ .
Artinya “al-Imam ibn Qudamah berkata : tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal bahwasannya beliau berkata : jika hendak masuk kuburan/makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan doa : Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.
4.Menurut
Fuqoha’ Ahlussunnah Wal Jama’ah
Menurut
jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh
al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu
Hurairah ra.
وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى اللهِ تَعَالىَ .
Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt”.
وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى اللهِ تَعَالىَ .
Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt”.
B.
Pendapat yang tidak Memperbolehkan
1.Pendapat
Ulama’ Madzab Syafi’i
Pendapat
masyhur dari golongan madzhab Syafi’i bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak bisa
sampai pada mayit, hal ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar hal 150.
وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْ وُصُوْلِ ثَوَابَ قِرَائَـةِ اْلقُرْأَنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّفِعِى وَجَمَاعَةٌ اَنَّهُ لاَيَصِلُ . وَذَهَبَ اَحْمَدُ اْبنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اَصْحَابِ الشَّاِفـِعى اِلىَ اَنـَّهُ يَـصِلُ . فَاْلاِ خْتِـيَارُ اَنْ يَـقُوْلُ اَلْقَارِئُ بَعْدَ فِرَاغِهِ : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ . وَالله ُاَعْلَمُ
Artinya : Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i dan golongan ulama’ menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit, sedang Imam Ahmad bin Hanbal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan sampai kepada mayit.
Dan menurut pendapat yang terpilih: hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan doa : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan *mayit*)
وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْ وُصُوْلِ ثَوَابَ قِرَائَـةِ اْلقُرْأَنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّفِعِى وَجَمَاعَةٌ اَنَّهُ لاَيَصِلُ . وَذَهَبَ اَحْمَدُ اْبنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اَصْحَابِ الشَّاِفـِعى اِلىَ اَنـَّهُ يَـصِلُ . فَاْلاِ خْتِـيَارُ اَنْ يَـقُوْلُ اَلْقَارِئُ بَعْدَ فِرَاغِهِ : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ . وَالله ُاَعْلَمُ
Artinya : Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i dan golongan ulama’ menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit, sedang Imam Ahmad bin Hanbal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan sampai kepada mayit.
Dan menurut pendapat yang terpilih: hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan doa : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan *mayit*)
2.Menurut
pendapat Madzhab Imam Malik
Menurut
pendapat ulama’ pengikut madzhab Maliki bahwasanya pahala puasa, shalat sunnah
dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit. Keterangan kitab
Majmu’ Fatawa juz XXIV hal.314-315,
وَاَمَّاالصِّـيَامُ عَنْهُ وَصَلاَةُ التَّطَوُعِ عَنْهُ وَقِرَائَةُ اْلقُرْأَنِ عَنْهُ فَهٰذَا قَوْلاَنِ لِلْعُلَمَاءِ : اَحَدُهُمَا : يَـنْـتَـفِعُ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ اَحْمَدَ وَأَبِىْ حَنِيْفَةَ وَغَيْرِهِمَا وَبَعْضُ اَصْحَابِ الشَّافِعِى وَغَيْرِهِمْ وَالثَّانِىْ : لاَتَصِلُ اِلَيْـهِ وَهُوَ اَلْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِى
Artinya : Adapun puasa, shalat sunnah, membaca al-Qur’an ada dua pendapat :
-Mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafi’i yang lain
وَاَمَّاالصِّـيَامُ عَنْهُ وَصَلاَةُ التَّطَوُعِ عَنْهُ وَقِرَائَةُ اْلقُرْأَنِ عَنْهُ فَهٰذَا قَوْلاَنِ لِلْعُلَمَاءِ : اَحَدُهُمَا : يَـنْـتَـفِعُ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ اَحْمَدَ وَأَبِىْ حَنِيْفَةَ وَغَيْرِهِمَا وَبَعْضُ اَصْحَابِ الشَّافِعِى وَغَيْرِهِمْ وَالثَّانِىْ : لاَتَصِلُ اِلَيْـهِ وَهُوَ اَلْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِى
Artinya : Adapun puasa, shalat sunnah, membaca al-Qur’an ada dua pendapat :
-Mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafi’i yang lain
-Tidak
sampai kepada mayit, menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan
syafi’i.
Demikianlah beberapa pendapat ulama’ mengenai hukum selametan 1-7/40/100 hari/haul. Meskipun pendapatnya berbeda-beda mereka pun (para ulama’) saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut dan kesemuanya itu masing-masing memiliki tendensi atau dasar sendiri-sendiri.
Demikianlah beberapa pendapat ulama’ mengenai hukum selametan 1-7/40/100 hari/haul. Meskipun pendapatnya berbeda-beda mereka pun (para ulama’) saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut dan kesemuanya itu masing-masing memiliki tendensi atau dasar sendiri-sendiri.
Oleh
karena itu marilah kita selalu berusaha meningkatkan profesionalisme kita,
belajar bersikap lebih dewasa, dalam menyikapi setiap perbedaan kita harus
saling menghargai dan menghormati, karena suatu perbedaan adalah rahmah bagi
kita semuanya kalau kita pandai mengambil hikmah darinya, dalam kitab Hasiyah al-Bujairomi juz 9 hal 71.
dijelaskan Perbedaan Ulama’ itu Adalah Rahmat
اِ خْـتِـلاَ فُ اْلـعُـلـَمـَاءِ رَحْـمَـةٌ
اِ خْـتِـلاَ فُ اْلـعُـلـَمـَاءِ رَحْـمَـةٌ
Dan
ingatlah contoh tentang perbedaan pendapat yang langsung diberikan oleh pemilik
jagat raya ini, lihat al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60 s/d 82 juz 16
(kisah perbedaan pendapat antara Nabi Musa dengan Nabi khidzir), oleh karena
itu marilah kita selalu menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan
menghormati, dari situlah akan tercipta kehidupan harmoni dan perdamaian yang
bersifat abadi. Amin.
Tahlilan
dalam Pandangan Ulama 4 Mazhab
BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4
MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN
I.
MADZHAB HANAFI
·
HASYIYAH
IBN ABIDIEN
Dimakruhkan
hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya
pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk
apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan
hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau
berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga
mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”.
Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada
hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya.
(Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar
al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)
·
AL-THAHTHAWY
Hidangan
dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa
hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU
SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala
Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
·
IBN
ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan
hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya
pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya
bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah
meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin
Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian
dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar
al-Fikr) juz II, hal 142)
II.MADZHAB
MALIKI
·
AL-DASUQY
Adapun
berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya
bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh
al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
·
ABU
ABDULLAH AL-MAGHRABY
Adapun
penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap
perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya
keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas
untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih
binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai
shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya
riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan
masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar
Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
III.MADZHAB
SYAFI’I
·
AL-SYARBINY
Adapun
penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib
al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun
kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat
dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad
al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz
I, hal 210)
·
AL-QALYUBY
Guru
kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab
al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah
munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh
masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik
sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby
(Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)
·
AN-NAWAWY
Adapun
penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan
bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr,
1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan
untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan,
berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar
al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
·
AL-SAYYID
AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI
Dan
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh
keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah
yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan
keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu
Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)
·
AL-AQRIMANY
Adapun
makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan
sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan
diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk
dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada
abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat
pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang
muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir.
seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut.
((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
·
RAUDLAH
AL-THALIBIEN an makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap
acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya
bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab
al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)
Adapun penghidang
- MADZHAB HAMBALI
·
IBN
QUDAMAH AL-MUQADDASY
Adapun
penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit,
hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah
kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai
apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa
Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul
bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”.
Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal
tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat
terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak
memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari
keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr,
1405) juz II, hal 214)
·
ABU
ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY
Sesungguhnya
disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga
mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang
berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap
perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut
dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru
[Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy,
al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
·
ABU
ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY
Menghidangkan
makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut
sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny).
Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin
Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy,
1400) juz II, hal 283)
·
MANSHUR
BIN IDRIS AL-BAHUTY
Dan
dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu,
berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin
Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah,
1390) juz I, hal 355)
·
KASYF
AL-QANA’
Menurut
pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit
yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau
sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan
(bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat,
seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat
tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat
tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula
dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut
berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang
(lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak
memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf
al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)
·
IBN
TAIMIYAH
Adapun
penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang
manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah,
berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap
kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa
Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
Komentar
Posting Komentar