Tasawuf dan Wali menurut Syeikh Hasyim Asy'ari
Tasawwuf dan Wali
Menurut Syeikh Hasyim Asy’ari
Dari sini tampak jelas
bahwa, seorang sufi dalam pandangan Syeikh Hasyim adalah orang yang benar-benar
menjaga adab. Adab kepada Allah, Rasulullahdan syariah Islam
Oleh: Muhammad
Farhan*
SYEIKH
Hasyim Asy’ari, pendiri NU, menjelaskan tentang hakikat tasawwuf serta
penyimpangannya dalam dua kitab yaitu, Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah dan
Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah. Kitab Al-Dhurar
ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’ari khusus mengkaji tentang wali dan tariqah
tasawwuf.
Dalam
dunia tasawwuf – juga dalam cabang-cabang ilmu lain – dalam kenyataannya memang
terdapat cendekiawan palsu yang membelokkan jalan dari aturan syariah. Dalam
bidang tasawwuf ini menurut Syeikh Hasyim juga terdapat orang yang merusak
konsep tasawwuf. Peringatan adanya jahlatul mutashawwifah (orang-orang bodoh
yang mengaku bertasawwuf) disebutkan oleh Syeikh Hasyim dalam Risalah Ahlis
Sunnah wal Jama’ah. Ciri-ciri mereka disebutkan menganut paham ibahiyyah (aliran
menggugurkan kewajiban syariat untuk maqom tertentu), reinkarnasi, manunggaling
kawulo (Syeikh Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 12).
Kewajiban
syari’at bagai penganut tariqah sufi dan para sufi tetaplah wajib dijalankan,
dimanapun, kapapun dan dalam keadaan apapun. Syeikh Hasyim menolak jika
kewajiban syariat Nabi Muhammad itu terpakai untuk orang tertentu dan terbatas
pada waktu tertentu. Orang yang meymakini gugurnya syariat pada orang dan waktu
tertentu dikatakan sebagai orang yang mendustakan dan merendahkan al-Qur’an
yang agung (istihza anil Qur’anil ‘adzim). Dengan pemahaman ini, tidak ada
perbedaan antara seorang murid (pengikut tariqah) dengan mursyid (pemimpin
tariqah), antara wali dan yang bukan wali, seluruhnya menanggung kewajiban
syari’at.
Pandangan
Syeikh Hasyim tersebut sejalan dengan Syeikh al-Qusyairi, ulama’ sufi tersohor
dari Khurasan. Dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyah, Syeikh al-Qusyairi
menerangkan karakterisitik ahli tasawwuf. Di antaranya hifdzul Adabi al-Syari’ah
(menjaga adab syariah). Syeikh Hasyim juga banyak menukil para sufi beraliran
Sunni, yang terutama Syeikh al-Junaid dan Hujjatul Islamm Imam al-Ghazali.
Dalam
anggaran dasar NU, bahwa dalam aspek tasawwuf NU mengikuti Syeikh al-Junaid
al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Pemikiran sufi Syeikh Hasyim banyak
dipengaruhi dua ulama sufi tersebut.
Corak
yang menonjol dari pemikiran tassawuf Syeikh Hasyim adalah membangun citra
positif tentang sufi dalam menghadapi aliran-aliran sesat di luar Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Secara geneologis, tasawwuf Syeikh Hasyim berasal dari ajaran Syeikh
Nawawi al-Bantani dan Syeikh Khatib Sambas ketika belajar di Makkah
al-Mukarramah. Syeikh al-Bantani dan Syeikh Khatib Sambas adalah dua ulama’
dari Indonesia yang mengajar di Makkah. Keduanya mewarisi tasawwuf Imam
al-Ghazali.
Syeikh
al-Junaid yang dikenal guru besar para sufi dari Baghdad sangat ketat
mengajarkan syariat dalam murid-muridnya. Menurutnya, orang yang merasa telah
wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah
yang diwajibkan oleh Allah Swt itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan
berzina. Wali yang meninggalkan kewajiban syariat bukanlah wali tapi jahil (Abu
Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, hal. 368).
Imam
al-Ghazali mengkritik bahwa seoarang sufi yang mengikuti paradigma asing, yang
bukan paradigma Sunni, tidak pantas disebut ahli sufi, sebagaimana dilakukan
kaum ta’limiyyah/bathiniyyah.
Corak
pemikiran tersebut diadopsi oleh Syeikh Hasyim Asy’ari. Orang yang mengaku
dirinya wali tetapi dalam kesaksiannya tidak mengikuti syariat Nabi Muhammad
saw, maka orang tersebut adalah pendusta. Beliau mengatakan:
فمن الدعى الولاية بدون شاهد
المتابعة فدعواه زور وبهتان
“Barangsiapa
yang mengaku dirinya wali tanpa kesaksian bahwa dia mengikuti syariat Nabi
Muhammad saw, maka pengakuan tersebut dusta bohong.” (Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar
al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 4).
Syeikh
Hasyim berpendapat, wali tidak akan memamerkan dirinya sebagai wali. Justru
seorang sufi tidak menyukai popularitas. Ia mengatakan: “Jenis fitnah itu
banyak sekali. Di antara yang banyak merusak seorang hamba adalah pengakuan
seseorang menjadi guru tarekat dan wali. Bahkan sampai mengaku dirinya wali
quthb, dan imam mahdi. Padahal mmereka bukan ahli syariat.” (Al-Dhurar
al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 1).
Sedangkan
kaum muslimin, banyak yang tertipu mengikuti ajakan yang bermacam-macam tanpa
memikirkan apakah ajakan itu haq atau batil, benar atau salah, tidak mengikuti
norma-norma yang disebutkan dalam kitab fikih.
Dikatakan
bahwa karakter seorang wali justru menyembunyikan kewalian dan mengedepankan
tawadhu’. Ia mengatakan: “Wali itu tidak membuka jalan popularitas dan juga
tidak melakukan pengakuan akan kewaliannya. Bahkan kalau bisa ia akan
menyembunyikannnya. Karena itu orang yang ingin terkenal dalam hal tersebut,
bukanlah ia seorang ahli tariqah” (Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a
‘Asyarah, hal. 9).
Seorang
wali, menurut Syeikh Hasyim adalah seseorang yang dipelihari oleh Allah
Subhanahu Wata’ala dari melakukan dosa besar, terjerumus oleh hawa nafsunya
sekalipun hanya sekejab, bila melakukan dosa ia bersegera bertaubat kepada
Allah swt. Inilah tiga ciri khas dan utama dari seorang wali.
Karena
itu, seorang wali menjaga hak-hak Allah dan hak-hak seorang hamba Allah dengan
cara mengikuti syariat Rasulullah saw. Atas dasar ini, Syeikh Hasyim
berpendapat bahwa syarat menjadi wali adalah mahfudz (terjaga dari
kemaksiatan). Artinya terjaga dari terus-menerus berada dalam kesalahan dan
kekeliruan. Apabila terjatuh kepada kesalahan, ia segara bertaubat dan kembali
kepada kebenaran.
Seorang
tidak dapat disebut wali jika ia meremehkan syariat, mengejek al-Qur’an,
membela kesesatan. Sifat pokok kewalian disebut oleh Syeikh Hasyim dengan
“istiqamatu ‘ala adabi al-syari’ah al-Islammiyah” (istiqamah dalam adab syariat
Islam). Seseorang yang mengaku secara dusta bahwa dirinya wali, sesungguhnya
orang tersebut tertipu oleh bujuk setan. Ia mengatakan:
فكل مى كان للشرع اعتراض فهو مغرور
مخدوع
“Setiap
orang yang bertentangan dengan syariat, maka orang tersebut tertipu oleh nafsu
dan setan.” (Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 6).
Ia
sangat selektif dan ketat menerapkan syariat dalam menilai kewalian seseorang.
Tauhid dan syariat adalah parameter utama. Dalam kisahnya, beliau tidak mudah
melabelkan gelar wali pada seorang ulama’/kyai, meskipun kyai tersebut
dzahirnya tidak terlihat melakukan dosa terus-menerus.
Kritik
keras juga diungkapkan kepada konsep tariqah yang tidak memalui jalur syariah.
Beliau bukanlah sufi yang anti-tariqah. Beliau dikenal menganut tariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah. Ia berpendapat, tariqat mana saja yang ditempuh sesuai
ajaran al-Qur’an dan Hadis boleh diikuti. Bagi beliau, dalam bertariqah dilarang
mengkultuskan secara berlebihan di luar batas kepada guru sufinya. Ia
mengatakan tidak boleh mengikuti ucapan guru tariqah yang bertentangan dengan
syariah (Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 8). Jika
ada guru tariqah yang maksiat, maka harus ditinggalkan.
Dari
sini tampak jelas bahwa, seorang sufi dalam pandangan Syeikh Hasyim adalah
orang yang benar-benar menjaga adab. Adab kepada Allah, Rasulullah dan hamba
manusia dalam bentuk praktik syariah secara total. Dan membersihkan akidahnya
dari aliran-aliran yang menyimpang dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kritik Syeikh
Hasyim Asyari untuk membentengi Islam dan umatnya dari pengaruh-pengaruh luar
yang dikhawatirkan menyimpang dari ajaran syariat Islam.*
*Penulis adalah Pimpinan Pengajian Daarul
Farhan dan Guru MIN 16 Cipayung Jakarta
Timur
Komentar
Posting Komentar